Definisi DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI DAN TIDAK DISEPAKATI
Ilmu Ushul Fiqih memiliki
dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu hukum berdasarkan
dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul
Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum.
Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni:
penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi.
Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material
(hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah,
para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu : sesuatu
yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara
qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain itu beberapa definisi tentang dalil
menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abd al-Wahhab
al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan
menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang
diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli
Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat
mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek
informatif”.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan
Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir
yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Dalam hal ini, para ulama
sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil dan berbeda pendapat
tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang
menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.
Dari sini dapat penulis
simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang daripadanya diambil hukum
syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan
qathi atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran.
[-]
Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan penelitian
dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber dalil
(al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati.
Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir
(Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil
terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari
Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam
Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari
tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
Untuk lebih jelasnya
berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
dan Qiyas.
1. Al-Qur’an
a. Definisi
Dari segi bahasa Lafadz
Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz
qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti
“mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain
dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an
ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf
yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada
keraguan.
Al-Qur’an adalah kitab
suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan
penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat
disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang
diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw,
isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu
disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta
membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
b. Kedudukan Al-Qur’an sebagai
Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi
sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan
lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan
hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan
fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di
masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu
memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik
rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang
bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu
al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang
dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula
dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di
setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah
menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam
adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan.
Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan
potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan
keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia
adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang
benar dan ibadah yang sah”.
c. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang
terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-hukum i’tiqadiyah.
Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari
pembalasan.
Kedua, hukum-hukum
akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan
sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum
amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan,
perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang
ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di
dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
a. Hukum ibadat. Misalnya, shalat,
shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan
untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
b. Hukum-hukum mu’amalat.
Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan
‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik
sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain
ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para
ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum
menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyah
sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi
(ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk
menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah
lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum
ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat),
perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi
dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya
masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang
asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena
hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an
hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar
penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan
dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu,
asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa
syari’at.
2.
As-Sunnah
a. Definisi
As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul
(ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw.
Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka
sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1. Sunnah qauliyyah ialah sabda
yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau
sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula
memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang
bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan
kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2. Sunnah fi’liyyah ialah segala
tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu
dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan
ibadah haji, dan sebagainya.
3. Sunnah taqririyah ialah
perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di
hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan
yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri.
b. Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah
sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para
sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam
menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah (diikuti)
yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya
dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah
(tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang
dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan,
makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari
empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib
ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana
diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab:
36.
c. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan
hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan
al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan
ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai
penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah
firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
d. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap
al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1. As-Sunnah berfungsi sebagai
ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut
mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah
sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2. As-Sunnah sebagai bayan
(penjelas); takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap
ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq
(tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk
pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah.
Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah.
Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku
shalat.” (HR. Bukhari)
3. Ijma’
a. Definisi
Menurut ulama Ushul Fiqh,
ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa
setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah.
Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh
mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat
terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang
disebut ijma.
b. Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’
terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa, 2. Adanya
kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3.
Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan
mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa
sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut
perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu
kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia
mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum yang
disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak
boleh ditentang.
Jadi kehujjahan ijma’
sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah memerintahkan orang yang
beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas
menafsirkan Ulil Amri sebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai
sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
c. Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma
itu ada dua bagian yaitu :
1. Ijma Sharih yaitu
kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian dengan
menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan.
2. Ijma Syukuty yaitu
sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid
lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau
perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni
dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai
berikut.
1. Ijma Qoth’i.
Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan
lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan
ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
2. Ijma Zhanni.
Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai
suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab
hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.
4. Qiyas
a. Pengertian
Al-Qiyas menurut bahasa
adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya.
Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh,
Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain
yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di
antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr
merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya
haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena
itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr
dan haram meminumnya.
b. Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai
berikut
1. Al-Ashl ialah sesuatu yang
hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang
dipakai sebagai ukuran).
2. Al-Far’u ialah sesuatu
yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan kepada
al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
3. Hukmul Ashl ialah hukum
syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi
al-Far’u.
4. Al-Illat ialah keadaan
tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu disamakan
kepada ashl dalam hal hukumnya.
[-] Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
Selain dari empat dalil hukum disepakati diatas
yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga dalil hukum yang mana
mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut.
Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan
penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu
ada Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati oleh para ulama itu banyak, dan yang
kami temui ada 5 hukum, seperti dibawah ini :
1.
Isthisan,
2.
isthisab,
3.
Maslahah Mursalah,
4.
Urf, dan
5.
syaru man Qoblama.
Untuk pengertian dari masing-masing hukum diatas akan kami
jelaskan pada pemnahsan selanjutnya.
B.
Pengertian dari
Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati beserta kehujjahanya
Macam-macamnya yaitu : Al-Istihsan,
Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, dan Syaru Man Qablana.
1. Isthisan (الإستحسان)
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama
menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat”. Jadi ostihsan ialaig
berpaling dari qiyas kahfi atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan
karena ada dalil yang lebih kuat.
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak
menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya.
Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang
yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata
pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan
menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam
qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu,
sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan
dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan
pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya
Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan
tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah
SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu
Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum
yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama
dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan
terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya
yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan
adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis
dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.
2. Isthishab (الإستصحاب)
Menurut lughat ialah membawa atau menemani.
Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut). Atau menetapkan suatu
hukum sebelumnya, sehingga yang baru merubahnya.”
Dari definisi diatas melahirkan kaidah :
الأصل بقاء
ماكان على ماكان.
“Asal sesuatu itu tetap seperti sedia kala”
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara
hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir
bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an,
al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam
berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus
mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian
qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa
sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu,
maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali
jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang
terpenting diantaranya, yaitu:
a. Istishhab hukum asal atas sesuatu
saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat
dan haram jika ia membawa mudharat[1][6] -dengan
perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah
hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah
jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
b. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah,
atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan
tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk
melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh
ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang
menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang
dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata
:”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah
penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya,
sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
3. Maslahah
Mursalah (kemaslahatan umum) (المصلحة المرسلة)
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat
yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan
sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat.
Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya
manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari
aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat.
Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan
dalam menegakan maslahat” .[2][9]
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat
merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia
untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang
mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash
atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah
tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam
Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
6.
Rasional.
Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk
kepada mashlahat mursalah.
7.
Sinergi dengan maqhasid
syari’ah
8.
Menjaga prinsip
dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan
bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah
adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan
bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas,
ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak
boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”.
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak
mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah
yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya
maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan
hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka
akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti
perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah
al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan
dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan
syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk
menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut
berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan
bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi
hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi
hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama
Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas menerapkannya.
4. ‘Urf (العرف)
a. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian
dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan
diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
b. Pembagian urf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang
berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk
daging ikan
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang
berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa
mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan
dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat
diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua
macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk
seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku
hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
c. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum
islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau
masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan
dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat,
kesulitan atau kesempitan..
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan
hanya dilakukan beberapa orang saja.
d. Kehujjahan ’Urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih
saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang
terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan
qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan
mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu
jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nash.
5.
Syari’at
Sebelum Kita (شرع من قبلنا)
Pengertianya
yaitu syari’at- syari’at yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum
datangnya Rasulullah SAW.
Adapun Syari’at
mereka dibagi 3 :
a.
Yang telah
dihapuskan oleh syari’at kita. Jika Al-Qur;an dan hadist telah menerangkan
tentang syari’at umat terdahulu, dan dijelaskan pula bahwa syari’at itu telah
dihapus maka tidak boleh dihapus.
b.
Yang tidak
dihapuskan dan dijelaskan oleh Nash. Apabila kita temi semacam ini, maka harus
dijlankan, tidak ada alasan apapun. Seperti ketika pada Nabi Musa terdapat
hukum qisas dan sampai saat ini masih dijalankan.
c.
Yang tidak
dijelaskan Al-Qur’an atau hadist, tapi juga tidak dihapus.Terhadap syariat ini,
perlu dikembalikan pada kekuatan kitab terdahulu.
Ditulis Oleh : SyariĪ ~ Tips dan Trik Blogspot
Sobat sedang membaca artikel tentang DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI DAN TIDAK DISEPAKATI | TuTorial Ku UnTuK Mu. TuTorial Ku UnTuK Mu™ Memperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar